Tuesday, March 18, 2008

Pengantar e-Learning


Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang semakin pesat, kebutuhan akan suatu konsep dan mekanisme belajar mengajar (pendidikan) berbasis TI menjadi tidak terelakkan lagi. Konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan e-Learning ini membawa pengaruh terjadinya proses transformasi pendidikan konvensional ke dalam bentuk digital, baik secara isi (contents) dan sistemnya. Saat ini konsep e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, training dan universitas) maupun industri (Cisco System, IBM, HP, Oracle, dsb).John Chambers yang merupakan CEO dari perusahaan Cisco System mengatakan bahwa untuk era ke depan, aplikasi dalam dunia pendidikan akan menjadi “killer application” yang sangat berpengaruh. Departemen perdagangan dan departemen pendidikan Amerika Serikat bahkan bersama-sama mencanangkan Visi 2020 berhubungan dengan konsep pendidikan berbasis Teknologi Informasi (e-Learning) [Vision, 2002].

Makalah ini akan memfokuskan pembahasan pada aplikasi eLearning dan pengembangannya. Bagaimana seharusnya aplikasi e-Learning dikembangkan dengan menyeimbangkan antara kebutuhan pengguna dan keinginan dari pengembang. Penjelasan akan dimulai dari pengertian eLearning, mengapa kita memerlukan e-Learning, sejarah e-Learning, beberapa analisa kegagalan eLearning dan strategi pengembangannya e-Learning.

Pengantar e-Learning
Definisi
Istilah e-Learning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar yang menguraikan tentang definisi e-Learning dari berbagai sudut pandang. Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya dari Darin E. Hartley [Hartley, 2001] yang menyatakan:
e-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan
tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet,
Intranet atau media jaringan komputer lain.
LearnFrame.Com dalam Glossary of e-Learning Terms [Glossary, 2001] menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa:
e-Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik
untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan
komputer,maupun komputer standalone.
Definisi lain e-Learning dengan berbagai sudut pandang dapat dipelajari secara lengkap dari:
http://www.google.com/search?num=30&hl=en&lr=&ie=UTF-8&oe=UTF-8&q=define%3A%20e-learning
Dari puluhan atau bahkan ratusan definisi yang muncul dapat kita simpulkan bahwa sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar dapat disebut sebagai suatu e-Learning.

Mana Yang Benar “elearning” atau “e-learning” ?
Sebenarnya kita tidak perlu mendikotomikan perbedaan penggunaan kata-kata diatas. Bagaimanapun juga, apabila ingin mencoba menganalisa, fenomenanya sedikit mirip dengan kata “email” dan “e-mail”. Sampai tahun 1998 hampir semua orang menggunakan istilah “e-learning” (dengan tanda hubung). Cisco menggunakan istilah “e-learning” dan SmartForce menggunakan terminologi “e-Learning Company”.

Setelah mulai matang dan banyak dikenal, tanda hubung mulai tidak digunakan. Sehingga digunakanlah istilah “elearning” atau “eLearning” (tanpa tanda hubung). Microsoft menggunakan istilah “eLearn” demikian juga dengan beberapa vendor lain.
Saat ini pemakaian kata “e-learning” (dengan tanda hubung) masih lebih banyak daripada elearning (tanpa tanda hubung). Mesin pencari google.com membuktikan fakta ini seperti di bawah:
  • 4.150.000 hasil untuk pencarian dengan kata “elearning” (tanpa tanda hubung)
  • 6.340.000 hasil untuk pencarian dengan kata “e-learning” (dengan tanda hubung)
Setelah itu beberapa variasi kata berkembang dengan penggunaan huruf kapital atau huruf kecil untuk “L”.

Hakekatnya tidak ada yang salah atau yang benar, karena kedua kata tersebut dapat digunakan sebagai terminologi yang benar. Pada makalah ini akan digunakan kata e-Learning untuk penyeragaman.

Keuntungan Menggunakan e-Learning
Keuntungan menggunakan e-Learning diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Menghemat waktu proses belajar mengajar
  • Mengurangi biaya perjalanan
  • Menghemat biaya pendidikan secara keseluruhan (infrastruktur, peralatan, buku-buku)
  • Menjangkau wilayah geografis yang lebih luas
  • Melatih pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
Strategi Pengembangan e-Learning
Ketika kita berbicara tentang strategi pengembangan e-Learning, maka hakekatnya adalah sama saja dengan strategi pengembangan perangkat lunak. Hal ini karena e-Learning adalah juga merupakan suatu perangkat lunak. Dalam ilmu rekayasa perangkat lunak (software engineering), ada beberapa tahapan yang harus kita lalui pada saat mengembangkan sebuah perangkat lunak

Masalah analisa kebutuhan pada makalah ini ditonjolkan karena ini hal terpenting yang sering dilupakan oleh pengembang aplikasi e-Learning. Pengembang terobsesi untuk membuat aplikasi e-Learning terlengkap dan terbaik, padahal itu belum tentu sesuai dengan kebutuhan sebenarnya dari pengguna.

Saat ini sebenarnya industri e-Learning sedang mengalami krisis, yang berakibat ke kegagalan e-Learning. Dari sebuah studi tahun 2000 yang dilakukan oleh Forrester Group kepada 40 perusahaan besar menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (lebih dari 68%) menolak untuk mengikuti pelatihan/kursus yang menggunakan konsep e-Learning. Ketika e-Learning itu diwajibkan kepada mereka 30% menolak untuk mengikuti [Dublin, 2003]. Sedangkan studi lain mengindikasikan bahwa dari orang-orang yang mendaftar untuk mengikuti e-Learning, 50-80% tidak pernah menyelesaikannya sampai akhir [Delio, 2000].

Dari berbagai literatur yang ada, kegagalan e-Learning sebagian besar diakibatkan oleh kegagalan dalam analisa kebutuhan yang mengandung pengertian bahwa pengembang tidak berhasil meng-capture apa sebenarnya kebutuhan dari pengguna (user needs). Hasil dari proses analisa kebutuhan (requirements analysis) pengguna diterjemahkan sebagai fitur-fitur yang sebaiknya masuk dalam sistem e-Learning yang kita kembangkan.

Sebagai pedoman fitur-fitur yang biasanya disediakan dalam sistem e-learning adalah seperti di bawah. Contoh di bawah belum tentu melingkupi seluruh kebutuhan pengguna. Demikian juga belum tentu sebuah sistem e-Learning harus memasukkan semua fitur-fitur di bawah. Kembangkan sistem berdasarkan kepada kebutuhan pengguna yang sebenarnya (user needs).

1. Informasi tentang unit-unit terkait dalam proses belajar mengajar
  • Tujuan dan sasaran
  • Silabus
  • Metode pengajaran
  • Jadwal kuliah
  • Tugas
  • Jadwal Ujian
  • Daftar referensi atau bahan bacaan
  • Profil dan kontak pengajar
2. Kemudahan akses ke sumber referensi
  • Diktat dan catatan kuliah
  • Bahan presentasi
  • Contoh ujian yang lalu
  • FAQ (frequently asked questions)
  • Sumber-sumber referensi untuk pengerjaan tugas
  • Situs-situs bermanfaaat
  • Artikel-artikel dalam jurnal online
3. Komunikasi dalam kelas
  • Forum diskusi online
  • Mailing list diskusi
  • Papan pengumuman yang menyediakan informasi (perubahan jadwal kuliah,informasi tugas dan deadline-nya)
4. Sarana untuk melakukan kerja kelompok
  • Sarana untuk sharing file dan direktori dalam kelompok
  • Sarana diskusi untuk mengerjakan tugas daam kelompok
5. Sistem ujian online dan pengumpulan feedback

Sumber : Romi Satria Wahono

PERAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya,kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.

Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Perdebatan antara anti-otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau, kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh.

Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.

Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah
yang beragam menurut latar belakang sosioekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum tampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Ke mana arah pendidikan di Indonesia?

Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia.
Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya {state building] dan {nation building] melainkan juga {capacity building.] Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.

Globalisasi ekonomi dan era informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan tetapi tidak setiap lulusan perguruan tinggi memiliki jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan perguruan tinggi yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Oleh karena itu, agar supaya perguruan tinggi mampu memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya. Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori (20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung oleh fasilitas laboratorium yang memadai.

Tujuan implementasi inovasi dari kegiatan inkubator bisnis berbasis teknologi ini adalah menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa sebagai peserta didik. Sedangkan manfaat yang diperoleh bagi institusi adalah tercapainya misi institusi dalam membangun generasi technopreneurship dan meningkatnya relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Sedangkan manfaat bagi mitra kerja adalah terjalinnya kerja sama bisnis dan edukasi. Kerjasama ini dikembangkan dalam bentuk bisnis riil produk sejenis yang memiliki potensi ekonomi pasar yang cukup tinggi.
Proses globalisasi yang sedang terjadi saat ini, menuntut perubahan perekonomian Indonesia dari resourced based ke knowledge based. Resource based yang mengandalkan kekayaan dan keragaman sumber daya alam umumnya menghasilkan komoditi dasar dengan nilai tambah yang kecil. Salah satu kunci penciptaan knowledge based economy adalah adanya technology entrepreneurs atau disingkat techno-preneur yang merintis bisnis baru dengan mengandalkan pada inovasi. Hightech business merupakan contoh klasik bisnis yang dirintis oleh technopreneurs.

Bisnis teknologi dunia saat ini didominasi oleh sektor teknologi informasi, bioteknologi dan material baru serta berbagai pengembangan usaha yang berbasiskan inovasi teknologi. Bisnis teknologi dikembangkan dengan adanya sinergi antara teknopreneur sebagai pengagas bisnis, Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian sebagai pusat inovasi teknologi baru, serta perusahaan modal ventura yang memiliki kompetensi dalam pendanaan.

Jumlah usaha kecil menengah berbasis teknologi (UKMT) di Indonesia berkembang dengan pesat. Kecenderungan peningkatan ini lebih didorong oleh terbatasnya peluang kerja di industri-industri besar karena pengaruh krisis ekonomi dan mulai munculnya technopreneurship di kalangan lulusan pendidikan tinggi teknik.
Dalam menghadapi era globalisasi, persaingan akan semakin ketat, sehingga sangat dibutuhkan kebijakan-kebijakan dan aktivitas-aktivitas secara langsung yang dapat meningkatkan daya saing UKMT di kemudian hari. Kesulitan dan hambatan pada UKMT di Indonesia dalam mengembangkan usahanya adalah lemahnya jalur pemasaran, dukungan teknologi dan terbatasnya permodalan. Terlebih lagi, bagi pengusaha pemula, masalah ini akan terlihat lebih besar dan menjadi kendala cukup besar dalam mengembangkan usahanya.

Sampai saat ini belum banyak institusi pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan dukungan secara langsung untuk pengembangan UKMT khususnya bagi pengusaha pemula. Sehingga sangat dibutuhkan suatu wadah yang dapat memberikan dukungan langsung berupa fasilitas-fasilitas yang dapat membantu UKMT khususnya membantu pengusaha pemula dalam melaksanakan dan mengembangkan usahanya.
Dalam rangka turut serta membantu dan mendukung secara langsung kegiatan UKMT khususnya kegiatan pengusaha pemula, maka dipandang sangat perlu untuk dapat membangun suatu wadah yang memiliki fasilitas yang dapat mendukung secara langsung kegiatan operasional, promosi, pemasaran, konsultasi teknologi produksi, investasi dan permodalan. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, diharapkan UKMT khususnya pengusaha pemula di Indonesia dapat mengembangkan usahanya lebih cepat dan terarah.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia.

Sumber :
Ii Dian Nurhajayanti

Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar


ACAPKALI pendidikan selalu diperdengarkan ditelinga kita, dengan demikian, pendidikan menempati kompentensi yang cukup tinggi dalam menyelesaikan berbagai problem sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting pendidikan bagi keberlangsungan spesies manusia. Bahkan Rasul Muhammad sendiri menyatakan bahwa "carilah ilmu mulai dari kandungan sampai ke liang lahat". Hal ini tentunya membawa implikasi logis bagi dinamika dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.Atas dasar argumentasi diatas, tulisan ini, sedikit mencoba memaparkan akar muasal pendidikan tersebut, dengan harapan dari tinjauan arkeologis-genealogis-meminjam istilah Michael Faucoult-akan ditemukan sebuah pengertian mendasar tentang makna pendidikan itu sendiri. Lebih dari itu, juga mencoba untuk merumuskan ide dasar dari perkembangan kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam dunia pendidikan.

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Paedagogus" berdasar pada pangkal kata "pais", yang berarti perkataan yang berhubungan dengan anak. kata Dalam perkembangan sejarah dan sejalan dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan, arti pendidikan terus berubah-ubah. Hadi Supeno dalam bukunya yang berjudul "Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan" menyebutkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berarti usaha untuk melanggengkan budaya yang ada, kepada generasi penerus serta upaya mempertahankan status quo, yakni tetap bertahannya nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Pendapat ini kemudian diargumentasikan sendiri oleh Supeno. Ia memberikan gambaran bahwa pendidikan sebenarnya harus mampu menolong atau membantu proses peserta didik dalam menemukan jati dirinya. Pendidikan harus mampu menemukan ke-berdikari-an baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dari sini diharapkan pendidikan tidak lagi sebagai sebuah proses penyadaran setengah hati. Pendidikan tidak lagi asal-asalan, melainkan pendidikan-menurut J. Sudarminta-adalah usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri kearah terciptanya pribadi yang dewasa susila.

Berbeda dengan Supeno maupun Sudarminta, Muhaimin dalam bukunya "Paradigma Pendidikan Agama Islam" memberikan cakupan yang lebih luas tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas merupakan upaya yang secara sadar dirancang untuk membentuk seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup baik yang bersifat mental maupun sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah sebuah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup pada salah satu ataupun beberapa pihak.

Disisi lain pendidikan juga sering diidentikkan perannya dengan memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh John C. Bock dalam "Education and Development : A Conflic Meaning" (1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan juga mengambil peran strategis guna menyiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial serta untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan. Peran pertama merupakan fungsi politik pendidikan sedangkan dua peran yang lainnya merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat pendidikan, yakni paradigma fungsional dan pardigm sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai cukup pendidikan yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di barat, lembaga pendidikan dengan sistem persekolahan merupakn lembaga utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul sebuah tesis human investment, yang menyebutkan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of system yang lebih tinggi dibandingkan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah, pertama, mengembngkn kompetensi individu. kedua, kompetensi yang tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. Ketiga, meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Bagi kaum liberalis pendidikan diartikan sebagai usaha untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada dengan cara mengajarkan pada setiap anak-anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti rinci pendidikan harus berupaya untuk menyedikan informasi dan ketrampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif. Disamping itu, pendidikan harus mengajarkan bagaimana memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kolektif, dengan berdasarkan pada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dan pembuktian gagasan.

Max Rafferty dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah upaya penumpukan pengetahuan yang besar yang ditambahkan ke dalam warisan para pemikir dan praktisi dari generasi ke generasi. Pendidikan menuntut keapaadaan penyampaian. Seorang guru bahasa inggris, misalkan, harus mengenal tatabahasa luar dalam, dan jangan mengajarkan omong kosong tentang bagaimana cara bersulang yang baik dengan menggunakan bahasa inggris.

Ilmu pendidikan atau paedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Paedagogik selain bercorak teoritis juga bercorak praktis. Untuk yang teoritis diutarakanlah hal-hal yang bersifat normatif, sedangkan yang praktis menunjuk pada bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan.

Paedagogik sebagai ilmu pokok dalam pendidikan dan sesuai dengan jiwa dan isinya sudah barang tentu memerlukan landasan-landasan yang berasal dari filsafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Dikatakan landasan, apabila melahirkan pemikiran-pemikiran yang teoritis mengenai pendidikan, dan dikatakan hubungan bila berbagai pemikiran mengenai pendidikan memerlukan iluminasi dan bantuan penyelesaian filsafat.

Dari pengertian diatas dapatlah diidentifikasi bahwa pemikiran-pemikiran filosofis tersebut lantas memberikan sumbangn yang cukup signifikan bagi perkembangn metodologi pendidikan. Dikarenakan tarikan metodologi selalu berlatar empiris yang berbeda, dus, berbeda pula simpulannya. Dengan demikian sah, jika muncul banyak aliran-alitan baik dalam dunia filsafat maupun lebih khusus lagi yang berkembang dalam dunia pendidikan. Berikut adalah beberapa aliran yang berkembang dalam dunia pendidikan plus dengan thesa-sinthesa dan antithesa yang melatarbelakanginya.

Fundamentalisme

Fundmentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap tolok ukur keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif dan atau yang diwahyukan. Pada umumnya fundamentalisme menerima jalur penalaran yang dapat diikhtisarkan menjadi lima titik dasar.

Pertama, ada jawaban otoritatif terhadap seluruh problem kehidupan yang memiliki arti penting. Kedua, jawaban-jawaban itu pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar (eksternal); entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima oleh para nabi atau orang suci. Ketiga, jawaban itu bukan saja otoritatif, melainkan langsung mengena pada persoalan, tidak mengandung makna ganda, tidak mendua dan bisa langsung dimengerti oleh orang awam, tidak membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur tangan pakar. Keempat, jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah cukup bagi siapapun yang berhasrat hidup secara baik. Sedangkan yang kelima, bahwa untuk kehidupan yang baik, orang tidak hanya perlu kembali pada kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau pada agama, lebih dari itu, yakni dengan mengamini segala macam bentuk pewahyuan .

Dengan demikian pendidikan bagi kaum fundamentalis bertujuan untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Sedangkan tujuan institusional pendidikannya antara lain untuk membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong agar kembali ke tujuan-tujuan yang semula, yakni memberikan informasi dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam tatanan sosial.

Adapun ciri-ciri umumnya adalah bertumpu pada pengetahuan sebagai sebuah alat untuk membangun kembali masyarakat yang mengikuti pola keunggulan moral tertentu yang dahulu pernah ada.

Karena pendidikan adalah pewarisan moral, berpusat dari tujuan asli, maka penekanan kembali pada masa silam sebagai orientasi korektif (petunjuk ke arah pembetulan) merupkan hal yang mustahaq bagi kaum fundamentalisme.

Intelektualisme

Secara umum intelektualisme meyakini bahwa ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal, yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu ada. Dan bahwa kebenaran-kebenaran itu berlaku bagi ummat manusia pada umumnya dan tidak merupakan milik yang unik dari individu maupun kelompok manusia tertentu saja.

Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme pendidikan adalah bahwa menganalisa, meneruskan dan melestarikan kebenaran, mengajarkan pada terdidik bagaimana cara menalar, meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa silam yang bertahan mutlak dilakukan. Adapun ciri umumnya adalah bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan akhir yang ada dalam diri manusia. Bahwa kebenaran adalah intrinsik. Manusia adalah kodrat atau hakekt yang sifatnya universal, yang melampaui keadaan-keadaan tertentu yang telah ada.

Konservativisme

Bagi kaum konservatif, tujuan atau asaran pendidikan adalah sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi. Berciri "orientasi ke masa kini", para pendidik konservatif sangat menghargai masa silam, namun terutama memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan pola-pola belajar mengajar didalam konteks sosial yang ada sekarang ini, ia ingin mempromosikan perkembangan masyarakat kontemporer yang seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluan-keperluan legal intitusional suatu kemapanan.

Selain itu konservatisme juga bertujuan untuk mendorong pemapanan dan penghargaan bagi lembaga-lembaga, tradisi-tradisi dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, termasuk rasa hormat yang tinggi. Dengan demikian, kaum konservatif menganggap bahwa meneruskan informasi dan ketrampilan yang sesuai, supaya berhasil dalam tatanan soial yang ada, adalah merupakan tujuan lembaga pendidikannya.

Liberalisme

Prinsip kaum liberalisme pendidikan adalah mengangkat perilaku personal yang efektif. Dalam hal ini, tak lebih hanya sebagai sarana untuk pembelajaran bagi siswa tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan praktis melalui penerapan tatacara-tatacara pemecahan masalah secara personal maupun kelompok, dengan berdasar pada metode ilmiah-rasional. Adapun ciri-ciri umum dari liberalisme pendidikan antara lain;

Pertama, Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis. Kedua, Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan kepuasan terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi kondisi yang berubah; pemikiran efektif (kecerdasan praktis)-kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan. Ketiga, pendidikan adalah pengembangan efektifitas personal, yang berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan masalah perseorangan maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan individu sekarang.
Konstruktivisme

Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada pertengahan abad ke-19 dalam tulisan Marx Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktifisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Itali. Dialah cikal bakal konstruktifisme. Pada tahun 1710 Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata "Tuhan adalah pencipta alam, dan manusia adalah tuan dari ciptaannya". Ia menjelaskan bahwa "mengetahui" berarti "mengetahui bagaimana cara membuat sesuatu". Ini berarti orang dapat mengetahui sesuatu setelah ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.

Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktifisme, pengetahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.

Progressivisme

Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressifisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.

Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress).

Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.

Essensialisme


Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.

Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.

Perennialisme

Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.

Perennialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan manusia. Motif perennialisme dengan mengambil jalan regresif tersebut, bukan hanya nostalgia pada nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan bagaimana agar nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan.

Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasionalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus.

sumber : Ahmad Aziez

Pendidikan Multikultural Sebuah Pengantar

Tujuan pendidikan multikultural adalah agar anak-anak dapat menghormati keanekaragaman budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. Pada intinya pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:
1. Proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan
manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan
manusia.
2. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan diskriminasi dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.
Pendidikan multikultural adalah sintesa dari pendekatan pendidikan anti-rasis dan multi-budaya yang dipakai secara internasional pada tahun 60an hingga 90an. Indonesia sejak awal berdirinya telah mempunyai banyak keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan agama. Keanekaragaman inilah yang sering diistilahkan dengan multikultural atau interkultural. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di mana terdapat banyak kultur dalam sebuah negara. Istilah multikulturalisme kadang digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak kultur yang berbeda yang hidup berdampingan tanpa ada banyak interaksi. Istilah interkulturalisme mengungkapkan sebuah kepercayaan yang setiap orang merasa diperkaya secara pribadi dengan berinteraksi dengan kultur lain. Setiap orang dari suku yang berlainan dapat terlibat dan belajar dari satu sama lainnya.

Pendidikan tidak hanya merefleksikan kondisi masyarakat, tapi juga mempengaruhi perkembangannya. Misalnya, sekolah sesungguhnya mempunyai peran dalam mengembangkan masyarakat interkultural. Akan tetapi sekolah sebenarnya bukan satu-satunya yang terbebani dengan tanggung jawab menentang ketidakadilan budaya ataupun menyuarakan arti penting interkulturalisme. Sekolah mempunyai kontribusi yang penting untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam hal penyikapan, kecakapan, nilai-nilai dan pengetahuan interkultural. Pendidikan interkultural seharusnya dijadikan sebagai cara untuk mengajak anak untuk berpartisipasi dalam perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Bisa dikatakan, pendidikan yang hanya didasarkan pada satu kultur, akan sulit mengembangkan anak didik ke depannya.

Pendidikan interkultural ditujukan untuk:
Menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat majemuk
Menumbuhkan kesadaran anak atas kultur mereka sendiri dan menyelaraskannya dengan kenyataan bahwa ada banyak cara hidup lain selain cara hidup mereka sendiri Menumbuhkan respek terhadap lifestyle lain selain lifestyle mereka sendiri, sehingga anak akan saling memahami dan menghormati
Menumbuhkan komitmen persamaan hak dan keadilan
Membuat pilihan-pilihan bagi anak tentang bagaimana bertindak berkaitan dengan isu-isu diskriminasi dan kecurigaan
Menghargai dan menghormati kesamaan dan perbedaan
Menjadikan anak dapat mengungkapkan kultur dan sejarah mereka sendiri.
Contoh Kasus:
Berikut ini adalah pengalaman seorang yang berkulit putih berkenaan dengan interaksi sosial yang dialami anaknya dengan temannya yang berkulit hitam.
Saya mendapat telepon dari TK tempat anak saya belajar, katanya ada sebuah persoalan yang sulit dipecahkan berkaitan dengan ketidaksukaan anak saya terhadap temannya yang berkulit hitam. Saya bingung dan malu, karena keluarga kami bukanlah rasis dan tidak suka membeda-bedakan orang karena warna kulitnya. Saya ingin tahu apa yang terjadi dengan anak saya, dan saya tidak ingin terlalu menilai. Saya hanya bertanya, kenapa dia tidak suka temannya yang hitam? Anak saya berkata: "Karena dia nggak pernah mandi dan selalu kelihatan kotor".
Saya terangkan bahwa temannya bukannya tidak mandi, dia sebenarnya bersih, cuma kulitnya memang hitam. Tapi keterangan saya ini tidak membuatnya mengerti.
Lalu saya berpikir sejenak, dan kemudian melihat buku-buku yang biasa saya bacakan kepadanya. Saya perhatikan ternyata semua gambar dan foto manusia yang ada di buku itu semuanya bekulit putih. Lalu saya sadar bahwa anak saya ini telah tumbuh dengan kesadaran bahwa normalnya orang itu berkulit putih, konsekuensinya ia menganggap orang berkulit hitam tidak normal. Saya ingin menunjukkan padanya bahwa manusia itu memiliki warna kulit yang berbeda-beda, dan tak perlu takut atau kuatir. Saya membeli beberapa buku baru yang di dalamnya ada orang dengan warna kulit berbeda-beda. Ketika saya membacakannya, saya menunjukkan bahwa anak-anak lain ada yang berkulit coklat, hitam, merah, kuning dan lain-lain. Singkat waktu, akhirnya saya melihat ada perbedaan dalam kesadaran anak saya.
Contoh di atas hanyalah sebuah pengalaman pribadi yang dialami seseoran, akan tetapi hal ini paling tidak
menunjukkan salah satu contoh dari banyak persoalan yang terjadi di masyarakat kita.
Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan kebudayaan mereka sendiri. Karena semua anak sekarang hidup dalam suatu tatanan dunia yang semakin beranekaragam, maka kita perlu mempersiapkan mereka. Pendidikan interkultural adalah bagian penting dari pengalaman pendidikan setiap anak, baik ketika anak belajar di sekolah yang berkarakter multikultural maupun mono-kultural, bagi anak yang berasal dari kultur dominan maupun minoritas.

Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan umur mereka. Mengakui bahwa perbedaan adalah normal dan wajar dalam hidup manusia, harus ditanamkan pada anak, berapa pun usia mereka. Sikap dan kemampuan anak yang mungkin akan menimbulkan persoalan kelak, sebenarnya telah berkembang ketika mereka masih kecil.
Bahasa dan perbincangan adalah komponen fundamental dari pendidikan interkultural. Adalah penting untuk
memberikan anak informasi yang akurat dan menentang segala stereotip dan miskonsepsi. Mengembangkan kecakapan interkultural adalah lebih efektif jika dilakukan melalui perbincangan dengan anak tentang pemikirannya, daripada memberikan penjelasan mengenai salah dan benar.
Pendidikan interkultural terjadi secara natural melalui "kurikulum tersembunyi" melalui apa yang dilihat dan diserap di mana anak tersebut tumbuh. Sementara itu, kelihatannya mungkin dan perlu bila ide-ide interkultural dan keadaan mayarakat yang melingkupi anak, dimasukkan dalam pengajaran kurikulum formal. Dalam mengeksplorasi kurikulum tersembunyi yang ada di masyarakat secara alami, penting juga untuk dicatat bahwa apa yang ditemukan di dalam masyarakat sama pentingnya dengan apa yang tidak ada.
Pendidikan interkultural lebih berkaitan dengan kultur dan agama, daripada dengan warna kulit atau kebiasaan. Pada contoh kasus di atas, warna kulit yang menjadi persoalan diskriminasi. Pendidikan interkultural harus secara benar diposisikan dalam melawan diskriminasi karena warna kulit maupun kultur dan agama maupun kelompok minoritas.

Sumber : Arief R

Sistem pendidikan zaman penjajahan jepang


Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.

Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

sumber : Aleh